Medan.top – Tarsan Pakpahan (67), tidak menyangka bisa hidup hingga saat ini. Salah satu veteran di tanah air itu menjadi saksi hidup bagaimana pertempuran di Timor-Timur menyisakan bekas luka tembak di pinggangnya saat berjuang di medan tempur.
Tarsan Pakpahan, yang tinggal di Jalan Bakti Korpri, Kelurahan Padangmatinggi, Kecamatan Padangsidimpuan Selatan, Kota Padangsidimpuan, menceritakan kisahnya. Pada tahun 1978 selama enam bulan dia bertugas mempertahankan Timor-Timor. Pria kelahiran 31 Mei 1954 ini menyebutkan, dirinya pada tahun 1977 ditugaskan dari Yonif Batalion 123 Rajawali melalui lanud 100 selama enam bulan pada masa itu, Rabu (10/11/2021).
“Saat itu saya ditugaskan berangkat ke kesana dari kesatuan. Saat itu bergabung di linud seratus” kata T. Pakpahan, Rabu (10/11/2021).
Pakpahan di usia senjanya saat ini menjabat sebagai Ketua Lembaga Veteran LVRI Kota Padangsidimpuan. Dia melanjutkan, saat bertugas di medan pertempuran, dia dan pletonnya menyisir daerah pegunungan Lakluber, Timor-Timor pada pukul 10 malam di saat dirinya tertembak.
“Saat itu kami berjalan menyisir lembah pegunungan Lakluber malam hari. Ternyata di pegunungan itu musuh berada di atas bukit, dan melepaskan tembakan ke arah kami. Di situlah saya dengar tembakan dan seketika mengenai perut dan pinggang lalu saya langsung terjatuh,” kata Veteran T. Pakpahan.
Dengan kondisi tertembak, Pak Tarsan Pakpahan sadar peluru mengenai dirinya, lalu mencari senjata ternyata tidak bisa berdiri lagi dan hanya bisa ngesot.
“Saya ingat betul saat tertembak itu, saya kira masih bisa berdiri dan melawan ternyata sudah tidak bisa berdiri maju. Spontan saya pegang perutku, Aduh…ternyata sudah bersimbah darah ususku juga keluar” Tuturnya.
Dirinya mengatakan, dalam kondisi lemah mencari senjata yang terlempar sekuat tenaga dengan cara ngesot.
“Saya ngesot meraba-raba senjata disuasana gelap, dan menemukan ujung tali senjata lalu saya tarik dan saya peluk” Kisahnya.
Pak Pakpahan melanjutkan, dengan posisi siaga memantau keadaan, dirinya mendengar suara kaki berjalan semabari dirinya berdoa diberi kekuatan.
“Tak berapa lama saya dengar di depan saya suara kaki berjalan, lalu dengan sekuat tenaga saya tarik pelatuk senjata dan membredel di kegelapan itu hingga suara kaki itu tak terdengar lagi,” ujar Pak Pakpahan degan mata berkaca-kaca.
Selama satu jam berada di hutan tersebut, sambil menahan rasa sakit dirinya terpaksa bertahan seorang diri sembari memasukkan usus diperutnya dengan dua prajurit yang sudah gugur.
“Saya menunggu bantuan evakuasi selama satu jam dan akhirnya digotong dengan kayu pakai kain oleh dua orang sembari saya menahan usus diperut supaya tidak keluar lagi” katanya.
Sesampai dirinya evakuasi di bascamb diatas bukit, dokter lalu menyuntikkan morfin dan langsung tak sadarkan diri.
“Saya disuntik morfin dan tidak bisa melihat lagi dan hanya bisa mendengar. Saya dengar percakapan mereka bilang angkat ini tiga-tiganya. Beruntunglah ada yang bilang yang ini masih hidup masih ada detak jantungnya bawa ke heli aja” tuturnya.
Kisah Pak Tarsan Pakpahan ini menjadi bukti sejarah perjuangan prajurit dalam mempertahankana bumi pertiwi, meskipun bekas luka perut dan pinggang berlobang sekaligus menjadi saksi hingga akhir hanyatnya.
“Untungnya nyawa saya tertolong” ungkapnya.
Redaksi