Medan.top – Data BPS menunjukan bahwa nilai tukar petani di Sumut sebesar 123,21 pada Oktober 2021. Lebih tinggi dari basis perhitungan di angka 100. Artinya indeks nilai tukar petani (NTP) di atas 100. Namun, apakah sama perhitungan antara petani perkebunan dan petani hortikultura?
Pengamat ekonomi, Gunawan Benjamin menjelaskan memang perlu merinci bagaimana dengan petani-petani per sub sektornya untuk membuktikan NTP rata. Karena bisa saja NTP yang cukup baik tersebut tidak bisa di nikmati oleh semua petani.
Kata Gunawan, bisa saja ada petani yang justru menikmati keuntungan dari pemulihan daya beli karena NTP yang lebih besar dari NTP rata rata petani di Sumut. “Dan pasti ada petani yang justru NTP di bawah NTP gabungan di wilayah Sumut,” terangnya, Selasa (16/11/2021).
Untuk petani perkebunan rakyat contohnya. NTP nya berada di level 153,83. Jauh di atas angka 100. “Dan kita semua tahu, bahwa petani perkebunan rakyat ini yang paling sejahtera di wilayah Sumut setidaknya hingga bulan Oktober kemarin. Dan kita semua faham bahwa kenaikan harga produk perkebunan khususnya kelapa sawit mengalami kenaikan harga yang fantastis,” jelas dia.
Jadi wajar jika petani perkebunan rakyat benar-benar menikmati keuntungan dari lonjakan harga. Daya beli petani perkebunan rakyat memimpin di bandingkan jenis petani lainnya. Hal yang jauh berbeda justru di tunjukan oleh petani hortikultura. NTP nya berada di level 91.99.
Holtikultura ini meliputi tanaman sayur-sayuran, buah-buahan dan tanaman obat. Dan memang di bulan Oktober, harga sejumlah sayur-sayuran itu terpuruk cukup signifikan. Tomat, kentang, wortel, cabai rawit menjadi komoditas yang menyumbang penurunan NTP. Walaupun di bulan November ini sejumlah harga sayur-sayuran tersebut sudah mulai membaik. Terlebih harga cabai merah yang sempat menyentuh 50 ribu per kg di bulan ini.
Dengan demikian bisa kita simpulkan kalau NTP tanaman hortikultura ini akan berfluktuasi nantinya. Walau demikian sejauh ini petani tanaman hortikultura yang paling merasakan penurunan daya beli.
“Meskipun demikian, tanaman hortikultura memiliki siklus pendek, bisa saja petani merubah ke tanaman lain. Dan saya yakin siklus penurunan harga jual itu bersifat sementara,” terangnya.
Upaya Mendorong Kesejahteraan Petani
Gunawan bilang, ada kalanya nanti petani hortikultura akan menikmati keuntungan tinggi yang nantinya akan tercermin dari kenaikan NTP. Walau demikian, secara keseluruhan harus berupaya mendorong kesejahteraan petani.
Terlepas jika NTP kerap bergerak di atas 100 atau di bawahnya. Seharusnya ada upaya untuk menekan indeks harga yang petani bayarkan. Caranya ada beragam, menyediakan pupuk bersubsidi yang tepat langsung ke petani, atau menjaga harga pupuk maupun pestisida. Memangkas biaya distribusi, salah satunya dengan mengamankan jalur distribusi yang kerap di landa longsor atau bencana lain yang menghambat arus lalu lintas barang dan jasa.
Kemudian pembiayaan murah bersubsidi bagi petani kita. Atau cara pendampingan lainnya termasuk akses pasar yang langsung yang lebih luas dengan harga yang lebih bersaing. Dan upaya untuk menekan laju tekanan inflasi di pedesaan sehingga konsumsi rumah tangga bisa di tekan.
“Sehingga petani tidak melulu bergantung kepada harga jual produk pertaniannya,” terangnya.
Tetapi, sambung dia, memang ada mekanisme dalam bentuk kebijakan. Sehingga petani tidak terlalu mengkuatirkan adanya gejolak harga yang sewaktu waktu bisa merubah daya beli petani kita.
“Dan keluhan dari petani belakangan ini masih terletak pada kenaikan harga pupuk dan pestisida di waktu-waktu tertentu,” tandasnya.
Redaksi